Selasa, 10 Juli 2012

KESADARAN DIRI

Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.
Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia.
Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan adalah dengan tabu mengutak-atik ranah gaib karena ia  hanya membutuhkan keyakinan saja.
Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa: “kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu”.

0 komentar:

Posting Komentar