Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala
sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat
tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai
tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang
universal ini.
Namun
benarkah demikian ke-ada-an
yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja? Saya pribadi enggan meletakkan
justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua
yakni bukan ke-tiada-an lah
sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran
manusia.
Dengan
asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat
dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang
membutuhkan pengerahan indera batin
(ke-enam). Lebih sulit lagi
karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak
mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan
kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan
meyakinkan adalah dengan tabu mengutak-atik ranah gaib karena ia hanya membutuhkan
keyakinan saja.
Dalam
kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan
pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk
menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran
semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada
pemahaman bahwa: “kebenaran sejati
ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi,
kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di
antara serpihan cermin itu”.
0 komentar:
Posting Komentar