Kesadaran tinggi diperlukan untuk mengetahui fenomena berupa realitas dan hakekat. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan yakni sebagai berikut:
Kesadaran akal-budi
semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang. Kesadaran
dalam pendekatan ini mengatakan: “…dipandang sebagai berkembanganya
jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis...” Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya
jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan
adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau
fenomena. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian
alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus
menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap
oleh indera jasad.
Penafsiran Subyektif (instrospeksionisme).
Dalam pandangan ini, kesadaran dipandang sebagai kesadaran
orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas
dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada
kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri
dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf
ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.
Penafsiran Relative-Obyektif.
Dalam disiplin
sosiologi terdapat pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat
kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu.
Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam
suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (sosialisme,
komunisme, leninisme
dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme dan hermeneutika kultural.
Semua pendekatan ini
berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala
individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat.
Masih dalam perspektif sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran,
sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi) merupakan bagian dari
sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi atau spiritual namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna
kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup
relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat
pada kalimat-kalimat suci serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial
keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai
sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang
masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan
dinamisme.
0 komentar:
Posting Komentar