Beautiful Disaster

.....................................

Wonderful Pain

lovelovelove

Love

.....................................

Love

.....................................

Selasa, 18 September 2012

KESADARAN DIRI MENURUT TRADISI INDONESIA

Di Indonesia dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni;
  • Jasad,
  • Akal-budi,
  • Nafsu,
  • Roh,
  • Rasa (indera ke-enam),
  • Cahya, dan
  • Atma.
Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni orang awam dan orang pilihan.

Orang Awam (kesadaran lahiriah)
Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung melainkan pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis atau referensi dan dari mulut ke mulut serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.

Orang Pilihan (kesadaran batiniah)
Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini lazim disebut orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat kesadarannya semakin tinggi pula.  Disebut juga sebagai orang yang telah mencapai kesadaran spiritual yang tinggi.
Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana sedangkan dalam terminologi Latin sebagai Imago Dei, sementara istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat setan, surga dan neraka tidak sama pada umumnya dengan orang biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati di dalam hidup. Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah dimatikan sedangkan yang hidup adalah rasa sejati.

Berkaitan dengan tingkat kesadaran ini maka kita bisa memilah manusia menjadi tiga Tipe Orang Pilihan yakni:

Tipe Kosmologis
Orang pilihan tipe kosmos mencapai high consciuousness dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat  dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin patipurna; batin yang bebas dari polusi, halusinasi dan imajinasi jasad (akal-budi) semata.

Tipe Etis

Orang pilihan tipe etis telah mampu mengharmonisasikan antara batin dengan perbuatannya.

Tipe Teologis
Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara rasional sebagaimana tradisi adat istiadat. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh bisikan setan. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang untouchable makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat  di mana suatu agama dahulu dilembagakan.

KETERBATASAN KESADARAN DIRI


Kesadaran tinggi diperlukan untuk mengetahui fenomena berupa realitas dan hakekat. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan yakni sebagai berikut:

Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang. Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan: “…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis...” Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau fenomena. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.

Penafsiran Subyektif (instrospeksionisme).
Dalam pandangan ini, kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.

Penafsiran Relative-Obyektif.
Dalam disiplin sosiologi terdapat  pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (sosialisme, komunisme, leninisme dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme dan hermeneutika kultural.
Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam perspektif sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi atau spiritual namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.

DINAMIKA KESADARAN

Sejenak kita flash back sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat ontologi, ephistemologi, dan aksiologi, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance). Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?. Kedua, versus hakikat (noumena/essence): Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?
Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan pada zaman renaissance. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.
Begitulah manusia dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat kehidupan di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan hukum alam. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata namun tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata tiba-tiba kita terkesimah kerana ternyata manusia mampu seolah melawan hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan.
Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya.

TAHAP-TAHAP KESADARAN

Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad atau ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis juga menguraikan beberapa tahap kesadaran yang sering kita alami, yaitu:

1.      Kesadaran Jasad
Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri.
Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri  yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut  hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. 
Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk maupun nilai spiritual. Akan tetapi, perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah atau di luar kekuatan manusia merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam atau harmonisasi.
Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah karena ia hanya mempertahankan wilayahnya atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan yakni sebatas kesadaran jasad dan  tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya. Lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.

2.      Kesadaran Intuisi
Menjawab kelemahan Bacon (akan dibahas pada subbab berikutnya), seorang filsuf Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran yang bersifat intuitif yang merangkum keduanya. Tesisnya mengatakan bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi.
Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu pengertian intuisi adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu.
Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu.
Intuisi adalah hal yang sepele namun tak bisa dianggap sepele. Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan non-sense dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan. Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga alhasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan atau penggandaan unsur genetika  milik sendiri.

3.      Kesadaran Akal Budi
Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi atau pendidikan. Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus.
Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan  ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya.
Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis dan empiris. Namun kebenaran dalam batasan kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia.
Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara empiris (empirisisme).
a.      Kesadaran Rasionalisme
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi (kebenaran pengetahuan). Pertama, idealism atau rasionalism menurut Plato yakni suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, kategori, bentuk sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika.
Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini, fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme  adalah mensyaratkan kita tidak memiliki cukup bekal sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya.
Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada namun organon sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri yang melampaui akal-budi manusia.
b.      Kesadaran Empirisisme
Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi.
Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance abad pertengahan di Barat.
Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek antara pernyataan dalam ide atau gagasan dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.
Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.
Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran atau kebenaran di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.

KESADARAN TINGGI: BERKAH BAGI ALAM SEMESTA

Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut tanggung jawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta malahan sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif. Sementara tanggung jawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus- kodrat Tuhan.
Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka kita harus mengasihi sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tidak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana maka kita tidak boleh mengejar “api” ke-aku-an yakni rasa mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.
Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum alam yang paling dominan yakni prinsip keseimbangan atau harmonisasi alam semesta. Penentangan rumus alam atau kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni  kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi.

KESADARAN: ALAT UNTUK MENGERTI RAHASIA TUHAN

Ketika kita berbicara tentang kesadaran maka menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang ada.
Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati. Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh serta-merta bereaksi menepis atau it’s nonsense!
Reaksi yang lazim dan naif hanya karena akal-budi kita yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tidak cukup hanya berbekal teori-teori ilmiah serta pengalaman akal-budi (rasionalisme-empirisisme) saja.