Berawal dari ketidaksadaran
lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad atau ragawi. Dari kesadaran jasad
meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu
menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera.
Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio)
meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut
orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat
lahiriah jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih
tinggi yakni kesadaran batiniah. Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis juga menguraikan beberapa tahap kesadaran
yang sering kita alami, yaitu:
1.
Kesadaran Jasad
Kesadaran jasad adalah kesadaran
tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada
waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun
melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau
stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi
si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk
hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana
yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran
sekaligus pelindung diri.
Melalui naluri inilah
sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu
mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah
salah satu cara menjaga diri yang paling alamiah dan sederhana bagi
manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ini masih setara dengan
kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus
karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan
naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau
induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya
menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan
kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena
naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan
nalar atau akal-budi.
Pada tingkat kesadaran ini
mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk maupun nilai spiritual. Akan tetapi, perilakunya telah mengikuti
hukum alam yang paling sederhana, paling penting namun mudah direspon semua
makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai
bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat
secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah
populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak
pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih
sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata
rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem
keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah atau di luar
kekuatan manusia merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju
keseimbangan alam atau harmonisasi.
Pada
tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala
segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan
kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang
tidaklah bersalah karena ia hanya mempertahankan wilayahnya atau demi memenuhi
kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden
bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi
sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan yakni sebatas
kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma
baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi
atas kesadaran jasadnya. Lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi
kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan
membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.
2.
Kesadaran
Intuisi
Menjawab kelemahan Bacon (akan dibahas pada subbab berikutnya), seorang filsuf Ouspensky
memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran
yang bersifat intuitif yang merangkum keduanya. Tesisnya mengatakan bahwa kenyataan itu harus
rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena
di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju
kesadaran tingkat tinggi untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi.
Teori intuisi menyebutkan
bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam.
Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan
berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius
dalam spiritual. Sementara itu pengertian intuisi
adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung
tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu.
Tampaknya Ouspensky memiliki
kesadaran bahwa realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu
ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata
sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional
sekalipun. Pemikiran Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam
memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak
masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang
belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam
jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun
bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu
(skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan
orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal
sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu.
Intuisi adalah hal yang sepele
namun tak bisa dianggap sepele. Karena melalui intuisi pula manusia mampu
meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan
rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika
metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau
gagasan non-sense dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama
serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan. Namun demikian riset dan
ujicoba tak pernah berhenti hingga alhasil benar-benar membuktikan bila makhluk
hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan atau penggandaan unsur genetika milik sendiri.
3.
Kesadaran Akal Budi
Setingkat lebih tinggi dari
kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi
berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi atau pendidikan. Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil
ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena
kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi.
Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus.
Rangsang atau stimulus tak ubahnya
data yang akan diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware
otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah yang melibatkan
pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri
hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal
budinya.
Kesadaran akal-budi bertujuan
mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis dan empiris.
Namun kebenaran dalam batasan kesadaran ini masih bersifat kebenaran
koherensi. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau
premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua
premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan sehingga menjadi kebenaran
kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia.
Selanjutnya kesadaran
akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme)
dan pembuktian secara empiris (empirisisme).
a.
Kesadaran Rasionalisme
Sejarah filsafat Barat
mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi (kebenaran pengetahuan). Pertama, idealism
atau rasionalism menurut Plato yakni suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, kategori, bentuk sebagai nara sumber ilmu
pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh
melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika.
Kesadaran akan bertambah
secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau
memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini, fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat
parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak memiliki cukup bekal sebagai alat komparasi atau landasan
silogismenya.
Rasionalisme dalam menjelaskan
realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai
penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut
organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada namun organon sebagai metode pengajaran
atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi
secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari
tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi
di luar diri yang melampaui akal-budi manusia.
b.
Kesadaran Empirisisme
Sebagai jawaban atas kelemahan
Aristoteles dengan prinsip organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang
ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran
sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian
empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu
memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi.
Dalam perkembangannya
empiricism disebut juga realism yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera
jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran
tersebut lahir di Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut
masih ada beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme
kritis, positivisme, fenomenologi dan lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa
renaissance abad pertengahan di Barat.
Dalam kesadaran empiris
prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran
setelah dilakukan cross-chek antara pernyataan dalam ide atau gagasan dengan
realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita
sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.
Pada tahap ini spiritualitas
yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan
teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut
mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan
indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta
hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan
indera jasad semata.
Dalam perkembangan selanjutnya
kedua metode pencari kesadaran atau kebenaran di atas dirasakan
masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan
masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara
signifikan.